Sarjana
Teknik Nuklir lulusan Universitas Gadjah Mada ini tersingkir dari PT DI
tahun 2003. Protes dan unjuk rasa tak mampu mengubah keputusan
perusahaannya. Berbagai usaha telah dicoba untuk menyambung hidup. Dari
beternak kelinci, ayam, itik, berjualan rokok, dan keripik singkong.
Namun, kerja serabutan tersebut gagal atau tidak memuaskan. Akhirnya,
dia memutuskan untuk berjualan es krim di di pusat perbelanjaan
Ramayana, Kota Cimahi, Jawa Barat.
Edy,
yang dulunya bekerja sebagai pemrogram dan pendesain di bagian
Engineering Research Development Center PT DI, harus menerima kenyataan
ini. Bukan hanya Edy yang membuka usaha ini. Sedikitnya ada tujuh orang
rekannya yang bernasib serupa, berjualan es krim.
“Itu karena kecakapan teknik yang tinggi tidak disertai dengan entrepreneurship
(kewirausahaan) sehingga tidak dapat di manfaatkan secara efektif di
tengah masyarakat,” ujar Agung B. Waluyo, PhD, dosen Universitas
Ciputra, Jakarta.
Kisah
malang Edy yang diwartakan sebuah harian nasional edisi 28 April 2007
dicuplik Agung di awal paparannya. Fakta itu membuat puluhan peserta
Rapat Koordinasi Nasional tentang Program Kewirausahaan Masyarakat, di
Yogyakarta, pada 12 Desember 2009 lalu itu terhenyak. Sebagian peserta
yang sebelumnya menikmati kudapan, memainkan telepon genggam atau
berbincang dengan peserta lain, mendadak menghentikan aktivitasnya.
Semua mata tertuju pada Agung. Seluruh ruangan menjadi hening.
Seolah
memanfaatkan momentum ini, Agung menghamburkan contoh-contoh lain. Kali
ini, dia mengutip hasil riset terbaru dari Guru Besar Ekonomi
Universitas Krisnadwipayana dan mantan Dirjen Binawas Depnaker, Profesor
DR Payaman J Simanjuntak di Jakarta. “Riset Profesor Payaman menemukan
bahwa tiga dari sepuluh tukang ojek di Jakarta adalah sarjana,” tandas
Agung.
Agung menjelaskan, penganggur berstatus sarjana jumlahnya semakin meningkat setiap tahun. Pada
tahun 2007, BPS mencatat 740.206 penganggur lulusan perguruan tinggi.
Setahun berikutnya, jumlahnya melonjak menjadi 1,1 juta orang.
Berikutnya, Agung menampilkan gambar derita seorang TKW di Malaysia. TKW
itu terpotret merayap di jendela sebuah apartemen di lantai atas. Dia
bersiap melompat kabur dari deraan siksa sang majikan. Upayanya berhasil
dicegah setelah diselamatkan polisi setempat.
“Kelangkaan pekerjaan di Tanah Air mendorong generasi muda menjadi TKI. Tanpa entrepreneurship, Indonesia akan mengirim lebih banyak TKI ke luar negeri,” tegasnya.
Minimnya
lapangan pekerjaan ditambah tingginya angka pengangguran terutama
mereka yang terdidik, berpotensi menimbulkan masalah sosial. Dari
tingginya angka kriminalitas, meningkatnya penyalahgunaan narkoba,
sampai perdagangan manusia. Stabilitas nasional akan terancam bila
masalah krusial ini dibiarkan.
Menurut
Agung, kewirausahaan adalah jiwa dan semangat yang membuat negara
manapun mampu mengatasi masalah dunia di abad 21. Kewirausahaan dan
wirausahawan juga memiliki makna penting dalam kemajuan sebuah bangsa.
Di
Indonesia, lanjut Eko, jumlah wirausahawan baru sekitar 0,18 persen
atau 400 ribu orang dari total jumlah penduduk. Untuk mengejar
ketinggalan itu, Eko menuturkan, Indonesia memerlukan lebih banyak
wirausahawan yang didorong oleh visi dan inovasi serta berorientasi pada
penciptaan lapangan kerja baru.
Untuk
hal ini, Agung menuturkan, wirausahawan bisa dibentuk lewat tiga cara.
Yakni, dilahirkan sebagai wirausahawan, dibentuk melalui lingkungan, dan
latihan. Dalam hal dibentuk melalui latihan, agung memaparkan,
pendidikan kewirausahaan yang diajarkan di kampusnya. Di antaranya,
pembelajaran lewat pengalaman; menyertakan business creation, business operation dan business growth; serta pembentukan jiwa wirausahawan secara utuh melalui pola pikir, perilaku, keahlian dan pengetahuan.
“Selain
itu, cara mengajarnya harus oleh orang yang tepat, pada orang yang
tepat atau selektif, dan dengan pendekatan yang benar,” tandasnya.
Sejalan
dengan itu, Direktur Direktorat Pembinaan Kursus dan Kelembagaan
(Ditbinsuskel) DR Wartanto mengatakan, pemerintah fokus pada program
kewirausahaan di tahun 2010. Oleh karena itu, lanjut dia, semua jalur
dan jenis pendidikan harus mengajarkan program kewirausahaan. Termasuk
membuat kurikulum kewirausahaan dalam pendidikan formal dari jenjang SD
sampai perguruan tinggi.
”Khusus PNFI, harus menajamkan kewirausahaan dengan merancang program sampai peserta didik betul-betul mandiri,” ujarnya.
Wartanto
menambahkan, program kewirausahaan yang dilaksanakan harus mengubah
pola pikir, dan mental peserta didik dari mencari pekerjaan menjadi
menciptakan pekerjaan. Sebab, kata dia, menciptakan wirausahawan tak
cukup dengan pembekalan keterampilan. Harus diiringi dengan pengubahan mental dan perilaku sebagai calon wirausahawan.
Terkait
dengan hal itu, Wartanto mengungkapkan, Ditjen PNFI akan meluncurkan
program Pendidikan Kewirausahaan Masyarakat (PKM) pada tahun 2010.
”Sasaran rintisan PKM 2010 adalah pilot project di 125 lembaga yang memenuhi syarat,” tandasnya.
Dia
menambahkan, bila program PKM di 125 lembaga percontohan itu
berlangsung baik maka bisa dilanjutkan di tahun depan dengan jumlah
lembaga lebih banyak. Jika program ini berjalan sesuai rencana maka akan
banyak lahir wirausahawan baru pencipta lapangan kerja. Pada akhirnya,
penuntasan masalah pengangguran dan kemiskinan bukan lagi sekadar mimpi.
(mss)
Last Updated ( Thursday, 15 July 2010 06:52 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar